Humor dalam Islam
Munculnya kontes “melucu”
di televisi memang sangat bagus sekali. Sebab, sejauh ini kontes-kontes seperti
ini hampir tak pernah ada. Apalagi, isi lawakan-lawakannya acapkali mengandung
kritik sosial dan budaya. Persoalan religius pun terkadang disinggung. Dari sinilah
kelak muncul pelawak-pelawak profesional yang akan selalu siap mengocok perut
kita. Tetapi persoalan muncul jika hal itu ditinjau dari perspektif Islam,
apakah seni “melucu” itu dianjurkan
dalam Islam ataukah diharamkan?.
Dalam Islam, tertawa
itu tidak dilarang, bahkan dianjurkan. Sebab, Nabi Muhammad S.A.W. sendiri
adalah orang yang senang dengan hal-hal yang lucu. Beliau adalah seorang
humoris. Ali bin Abi Thalib pernah menceritakan bahwa Rasul adalah seorang yang
periang, ramah, orang yang paling banyak tersenyum di hadapan para sahabatnya,
merasa kagum terhadap yang dibicarakan mereka, bahkan kadang-kadang tertawa
hingga terlihat gigi gerahamnya (Al Ghazali dalam Ilhya Ulum al-Din).
Pada kesempatan lain, Siti
Aisyah pernah menggambarkan tentang Rasulullah bahwa beliau ketika berada
dirumahnya adalah manusia yang paling lembut, banyak tersenyum dan tertawa (Kanz al-Ummah).
Hanya saja, Islam
menggariskan bahwa tertawa itu tak boleh melebihi batas. Sementara dalam kontes
seni humor lainnya kita acapkali tertawa terbahak-bahak kala melihat para
pesertanya sangat lucu. Lantas, apakah hal itu dilarang? Kalau begitu yang
diperbolehkan itu “seni melucu” yang
bagaimana?
Nabi Muhammad S.A.W.
pernah bersabda, “Dan janganlah memperbanyak tertawa, karena banyak tertawa
akan mematikan hati” (HR. At-Tirmidzi dan
Ibnu Majah).
Berdasarkan bunyi
hadits diatas, kita dilarang banyak tertawa karena akan berpotensi “mematiakan hati” kita untuk mengingat
Allah S.W.T. atau jalur-jalur yang benar. Disini perlu dibatasi yaitu “mematikan hati”. Jadi, sejauh tertawa
kita tidak sampai membuat hati kita lupa pada Allah S.W.T. maka hal itu
diperbolehkan. Dalam hal ini kita jangan lihat ”proses”-nya, tetapi “akibat”-nya.
Tertawa merupakan proses, sementara lupa atau ingat kepada Allah adalah akibat.
Karena itu apapun bentuk sikap dan pekerjaan kita bila tetap menjaga hati kita
untuk selalu ingat kepada Allah, maka boleh-boleh saja. “Sesungguhnya setiap
pekerjaan itu tergantung pada niatnya” (HR.
Buchari dan Muslim).
Disini, dalam konteks seni
“melucu” (humor), ada beberapa hal
yang mesti kita pikirkan bersama. Pertama,
tertawa yang terkondisikan : pada tempatnya itu sah-sah saja. Kedua, tertawa yang tidak terkondisikan
: tidak pada tempatnya dan itu dilarang.
Misalnya saja kontes “Stand Up Comedy” di Kompas TV yang
sekarang sedang populer, merupakan tertawa yang terkondisikan. Artinya, baik
peserta maupun pendengar siap dikondisikan untuk tertawa. Ruang kontes itu
adalah ruang yang dikondisikan untuk tertawa. Ketika pikiran dan niat kita
sudah diarahkan ki sini, jelas tak satupun orang yang merasa terganggu dengan
tertawa yang mereka keluarkan. Bahkan dalam kontes “melucu” tanpa tertawa akan ditertawakan dan tidak lagi menjadi
tontonan yang menarik. Tertawa terbahak-bahak itu akan dilarang bila kita
lakukan bukan pada tempatnya, seperti di masjid ketika banyak orang sedang
sholat, di jalan ketika banyak orang lewat, di tengah malam ketika banyak orang
sedang tidur dan sebagainya.
Tetapi memang tersenyum
atau tertawa ringan itu lebih baik dibandingkan tertawa terbahak-bahak. Sebab,
Nabi sendiri lebih banyak tersenyum. Meskipun Nabi tertawa, tetapi tertawa
beliau sekali-kali saja dan tidak sampai mengganggu orang. Banyak hal yang bisa
membuat Nabi tertawa, seperti melihat
hal-hal yang lucu, mencumbui isterinya, mengakrabkan hati sahabatnya, atau
terkagum-kagum atas perbuatan sahabatnya.
Suatu kali Suwaida
pernah membuat Siti Aisyah tertawa. Melihat isterinya tertawa, Nabi pun ikut
tertawa. Ketika lama Nabi tidak melihat Suwaida, beliau pun bertanya pada
isterinya, “Wahai Aisyah, apa yang dilakukan Suwaida?”. Aisyah menjawab,”Dia
sakit.” Maka Rasul pergi menengoknya dan mendapatkannya sedang menghadapi
sakaratul maut. Lalu, beliau berpesan kepada keluarganya, ”Jika dia
meninggalkan dunia, beritahulah kepadaku.”
Ketika meninggal,
mereka mengabarkannnya kepada Rasul, maka Rasul menyaksikan dan
menshalatkannya, seraya berdoa; “Ya Allah sesungguhnya dia bersemangat untuk membuatku
tertawa, maka jadikanlah dia tertawa karena kegirangan.” (Ibnu Abdi Rabbih dalam Al-Aqdu Al-Farid).
Apa yang bisa kita
petik dari kisah diatas adalah bahwa Nabi ternyata begitu merasa kehilangan
ketika salah seorang sahabatnya yang suka bercanda telah meninggalkan dunia. Pada
titik ini, semakin jelas bahwa Nabi begitu sangat respect terhadap orang-orang
yang suka bercanda, tentunya bercanda yang mengerti batas.
So, tertawa baik
sedikit maupun terbahak-bahak, itu boleh-boleh saja sejauh itu tidak mengganggu
orang atau membuat kita lupa pada Allah S.W.T. Sebab tertawa terbahak-bahak
yang kita lakukan pada tempatnya semata-mata adalah suatu ekspresi dari rasa
riang atau gembira yang timbul dalam diri kita. Sebaliknya, tertawa
terbahak-bahak yang kita lakukan bukan pada tempatnya merupak bentuk “pelanggaran etika” ysng mesti kita tepis
jauh-jauh. Semog kita bisa menempatkan diri kita pada tempat yang benar! Aamiin....!